Kalau aku baca sekilas tantangan #One Day One Post ke 13 teman2 yang lain berkisar tentang rumah atau tempat yang berhantu.
Kali ini aku mau menceritakan kejadian horror yang kualami bener2 didalam BUS!!!
Bus????
Sumpe lohhh??
Suwer!
Gini nih ceritanya...
Sebagai seorang yang gemar berpetualang dan melarikan diri dari situasi yang menjenuhkan. Kadang aku ingin melakukan hal-hal yang dirasa tidak nyaman dan berbeda dari keseharian. Beberapa kali aku melarikan diri dari rutinitasku untuk menyepi dan "menyengsarakan" diri dengan pergi ke suatu tempat ala backpacker, duit seadanya, bekal seadanya dan persiapan pun seadanya.
Kali ini tujuannya adalah ke Bandung.
Aku tidak punya sanak famili di Bandung dan ini kali pertama diriku sengaja merencanakan kepergian dengan tidak begitu matang, tanpa arah dan tujuan, tidak tahu akan menginap dimana, yang penting berangkat, pamit kepada orang tua- akan pergi bersama dua orang teman perempuan yang kebetulan mengambil jurusan yang sama yaitu Arsitektur.
Tujuan kami ke Bandung semata-mata untuk melihat Pesta Seni di ITB (Institut Teknologi Bandung) yang menurut promosinya akan sangat meriah dan banyak even-even kreatif yang menarik serta menampilkan artis-artis terkenal.
Lumayanlah, sembari jalan-jalan menikmati suasana kota Bandung yang menawarkan sejuta pesona baik dari kulinernya maupun wisata belanja dan alam. Kami menumpang travel, berangkat sore hari dan tiba di Jatinangor subuh. Berbekal oleh-oleh “Bandeng Presto”, makanan khas Semarang untuk penduduk yang akan kami singgahi untuk menginap dan 3 potong pakaian seadanya.(Waktu itu umurku masih 20 tahun dan kali pertama mencoba berbackpacker-ria).
Perjalanan hampir 10 jam itu cukup memusingkan akibat liukan travel dijalanan yang kadang zig-zag dan mengerem mendadak.
Syukurlah kami menemukan tempat meletakkan penat yaitu sebuah rumah didekat stasiun Rancaekek dengan penghuninya yang bersedia kami repoti.
Beliau adalah seorang nenek yang hidup sendiri, berumur sekitar 70 tahun dengan anak-anak yang sudah sukses di kota.
Sekitar jam 9 pagi, lelah sudah sedikit beranjak dari badan setelah tidur sejenak dikasur sederhana sang nenek. Kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung, dengan tidak lupa bertanya bagaimana cara menuju kesana.
Beliau memberitahukan bahwa cukup dengan menumpang kereta , kami sudah dapat sampai di Bandung dengan cepat dan murah.
Dengan langkah gontai, setelah menghabiskan secangkir teh manis suguhan sang nenek dan menyantap habis bubur ayam abang-abang yang lewat didepan rumah, kami melesat ke stasiun dengan berjalan kaki menyelusuri rel.
Hawa Bandung masih sejuk kala itu.
Tiba distasiun, kami membeli karcis, dan bergegas meloncat ke kereta. Harga tiketnya sangat murah, cuma 400 rupiah dan masih kusimpan sampai sekarang, sebagai kenang-kenangan diantara kumpulan tiket, karcis atau apapun setiap kali aku "uji nyali" pergi menggelandang.
Dengan susah payah kami menerobos masuk kedalam kereta yang cukup padat dengan berbagai makhluk. Pantas saja, harga tiketnya sangat murah, karena tak disangka kami harus berbaur dengan kerumunan kambing dan sekelompok ayam yang dibawa oleh pedagang dengan mengikat kaki-kaki mereka menjadi satu. Belum lagi manusia-manusia dengan peluh yang menetes ditengkuk dan pelipis mereka karena kegerahan ikut menyemarakkan bau-bauan yang ada digerbong tempat kami menumpang. Tidak adanya pegangan membuat kami menahan berat tubuh kami dengan susah payah, ditambah beban ransel yang menempel dipunggung dan dengusan-dengusan nafas panas yang berhembus ditengkuk kami akibat saking dekatnya jarak satu sama lain.
Benar-benar situasi yang romantis atau tragis sehingga tak sengaja diriku menertawakan nasib yang sok nekat berpeluh-peluh ria demi sepotong pengalaman. Tiba-tiba baru setengah perjalanan, kereta mendadak berhenti. Sudah diduga, pasti akan timbul keriuhan tersendiri disetiap gerbong karena mempertanyakan alasan kereta ini mandeg.
Peluh makin membanjir dan kereta ini tak juga berangkat. Perjalanan yang biasanya ditempuh 1 jam molor menjadi 2 jam karena ternyata kereta berhenti akibat menyerempet seorang anak kecil.
Ada-ada saja...huuft.
Setelah urusan beres, perlahan-lahan kereta meneruskan perjalanan dengan terseok-seok. Dengan penuh perjuangan akhirnya tibalah kami diBandung. Langsung kami menuju kampus ITB dengan naik angkot. Sesampai disana, suasananya memang sangat menarik. Banyak bazar-bazar unik, kerajinan tangan hasil kreasi mahasiswa maupun masyarakat setempat sampai pertunjukan happening art yang teaterikal dan dramatis.
Siang menjelang sore, suasana panggung semakin semarak dengan penampilan artis-artis ibukota dari group Coklat, Naif sampai Geger Band dari Surabaya.
Benar-benar menghibur. Tak sadar hari sudah malam.Untuk kembali ke Rancaekek dan menginap dirumah nenek tadi sepertinya kami ragu karena tidak hafal jalan dan takut kesasar.
Sempat berencana untuk tidur diMasjid ITB atau di RS Borromeus layaknya orang menunggu pasien ICU, tapi kok tidak yakin. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sapaan 2 orang pemuda.
Sepertinya mereka mahasiswa kampus ini. “Mau kemana, mbak?” “Hmmm,...ini mas, kami sedang kebingungan mencari tempat menginap, karena untuk kembali ke Rancaekek, sepertinya sudah tidak ada kereta”, aku menjelaskan. “Menginap dikos-kosan saya aja mbak, tapi isinya cowo semua, kalau mau..” Tanpa pikir panjang, kami mengiyakan tawaran lelaki itu untuk meminjamkan kamarnya, sementara dia mengungsi kekamar temannya yang lain.
Syukurlah, akhirnya kami terbebas tidur dialam bebas. Pemuda yang berbaik hati itu bernama Guruh dan Heru. Ternyata menemukan tempat kos mereka cukup membuat kami terpana karena harus melewati gang-gang sempit selebar hanya 1 meter, berliku-liku dan padat permukiman.
Dengan tampang celingukan, kami cepat-cepat menyelinap masuk kamar kos Guruh karena takut ketahuan teman-temannya yang lain.
Kamar Guruh sangat sederhana.Tidak ada kasurnya, lemari rotan kecil dan meja dari kayu peti kemas. Alas tidurnya hanya karpet biasa dan sebuah bantal. Lumayanlah, ransel kami bisa menggantikan fungsi sebagai bantal.
Ternyata menginap dikos Guruh membuat kami, yaitu saya , Ofa dan Monic malas untuk kembali ke Rancaekek karena tidak efektif pulang pergi.
Setiap hari kami menjelajahi setiap sudut kota Bandung. Dari Islamic Centre, sampai Cibaduyut. Dari Cisangkuy sampai Lembang dengan berjalan kaki dan sesekali naik angkot.
Gempor kaki tidak terasa, baru setelah sampai dikos, kaki rasanya sudah bertambah volume 2 kali lipat.
Hari ketiga, ternyata Monic tidak kuat melanjutkan travelling ala backpacker. Dia pulang ke Semarang. Tinggallah saya dan Ofa yang masih terus bertahan menaklukkan kota Bandung dengan berjalan kaki. Ijin keorangtua yang semula 3 hari molor menjadi seminggu. Alhasil uang dikantong makin menipis, dan kami memang sengaja tidak membawa kartu ATM. Perfect!
Terpaksa harus melakukan pengiritan besar-besaran dengan mengurangi jatah makan supaya bisa pulang ke Semarang yang rencananya hari ini, hari keenam setelah kedatangan kami. Jadi yang semula makan 3 kali sehari dengan laut bergizi, nasi, sayur dan lauk pauk lengkap. Keesokan harinya menjadi makan 2 kali sehari, dengan lauk seadanya. Sampai-sampai uang seribu rupiah harus cukup untuk makan pagi ini, dihari terakhir,karena malam nanti kami berencana untuk pulang. Akhirnya, dengan perut keroncongan , kami singgah diwarung nasi padang, membeli nasi 1000 rupiah, diguyur kuah rendang yang asin sebanyak-banyaknya yang sama sekali tidak cocok dengan lidah Jawa yang cenderung suka yang manis-manis.
Kami makan dengan lahap, sambil sesekali memandang bentuk sendiri yang sudah sangat dekil seperti gelandangan dan saling pandang-pandangan sambil tertawa nyengir. Hahaha..benar-benar berkesan. Malamnya, sebelum pulang dengan bus, kami makan malam untuk terakhir kalinya diwarung pinggir jalan dengan lauk bola-bola daging yang dikepal bersama parutan kelapa. Lumayanlah, perbaikan gizi, setelah lama tidak makan makanan bernutrisi. Sialnya, itu bola-bola daging sepertinya sudah lama tidak laku, sehingga perut kami mulas seperti diaduk-aduk karena agak basi, heeftt..benar-benar payah. Jam 9 malam, bus sudah siap dipulnya.
Kami mencari tempat duduk pesanan yang ternyata tepat ditengah-tengah bus lajur sebelah kiri. Tak seberapa lama, bus pun berangkat membawa sejuta harapan kami untuk cepat pulang ke rumah, karena lelah yang mendera dan tubuh yang melemas karena keracunan makanan.
Bus melaju dengan kencang membawa penumpang yang memenuhi semua kursi. Saya dan Ofa Cuma terdiam karena kelelahan sambil bergoyang-goyang mengikuti ritme gerakan ban yang menggelinding. Seberang kami duduk sepasang suami istri yang unik, karena suaminya kurus kering, sedangkan istrinya berbadan gendut dan melebar.
Sepertinya, jatah tempat duduk suaminya tersita setengahnya untuk menampung lebar tubuh sang istri. Alis matanya tipis dan melengkung tetapi memakai eyeliner tebal. Sangat kontras dengan pipinya yang menggembung.
Didepan kami duduk 2 orang anak kecil sekitar umur 5 tahun dan 7 tahun.Mereka asyik cekikikan sambil selalu mengucapkan kata “acakadut” hampir setiap menit.
Sedangkan belakang kami, walaupun tidak menengok, tapi saya tahu kalau disitu duduk sepasang muda-mudi yang sepertinya baru saja kenalan didalam bus.
Dan anehnya, semenjak kami berangkat dari Bandung, sampai hampir sampai ke Cadas Pangeran, si pria tidak pernah berhenti berbicara, sedangkan si wanita tidak menjawab sama sekali, entahlah apakah dia bisu, atau enggan menanggapi.
Yang jelas, pria itu tidak pernah berhenti bercerita dari awal. Sedang asyik-asyiknya terkantuk-kantuk, tiba-tiba bus berhenti didaerah Cadas Pangeran, pinggir hutan. Ternyata mesin rusak, sehingga bus terpaksa berhenti dan menunggu bus pengganti atau perbaikan mesin.
Dalam kesenyapan, ternyata uji nyali kami belum berakhir. Ketika aku menoleh ke wanita sebelah kanan tadi, ternyata bibirnya seolah-olah melebar sampai melebihi pipi layaknya Joker, matanya berkilat-kilat ditimpa sorot lampu kendaraan dari arah berlawanan, dan tersenyum menyeringai. Sementara suaminya terlihat pucat, dengan senyum pias dan tak berekspresi seperti mayat hidup.
Anak-anak didepan kami masih saja cekikikan dan kali ini ditambah dengan suara-suara layaknya orang sedang bertelepon, padahal suasananya sangat hening dan jam sudah beranjak pukul 1 dini hari. Saya colek teman saya Ofa, dan dia pun merasakan hal yang sama.Untungnya kami bukan orang yang penakut, tetapi tetap saja suasana malam itu sangat mencekam dan sepi. Hanya sesekali terdengar suara klakson panjang dari kendaraan lain, karena bus kami kebetulan berhenti tepat diturunan.
Ditambah saat itu sedang heboh-hebohnya bus berhantu yang konon kabarnya disusupi makhluk-makhluk menyeramkan.Semakin komplitlah penderitaan kita. Tegang, perut mulas, badan loyo dan tubuh dekil. Daripada sibuk memikirkan hal-hal aneh, akhirnya kami memutuskan untuk tidur sambil mendekap erat ransel kami masing-masing untuk menghalau hawa dingin. Sekitar jam 6 pagi kami dibangunkan oleh hentakan bus yang bergoyang-goyang, tanda mesinnya telah hidup.
Horeee...sorakku dalam hati, kita pulang. Dan karena suasana sudah terang, aku mencoba memeriksa apakah penghuni bus masih menyeramkan seperti kemarin malam? Huuft..untunglah, ibu gendut itu masih sama, suaminya yang kurus masih sama, 2 anak itupun masih ada, pandangan mataku menyapu ruangan dan berdiri untuk memastikan penumpang bus memang manusia normal dan bukan jadi-jadian. Yesh!..semuanya memang kembali normal, apakah tadi malam aku berhalusinasi, atau memang lokasi kami berhenti tadi memang daerah wingit, entahlah?
Yang pasti saya aku semalam sadar sesadar2nya, melek dan melihat wajah2 tak beraturan itu dengan begitu nyata dan jelas.
NB: Kisah2 horrorku yang lain (secara nyata) bisa dibaca di buku ANTOLOGI HORROR KISAH NYATA berjudul " Perempuan Terowongan Ceger" ini...
Kali ini aku mau menceritakan kejadian horror yang kualami bener2 didalam BUS!!!
Bus????
Sumpe lohhh??
Suwer!
Gini nih ceritanya...
(source: www.kaskus.co.id)
Sebagai seorang yang gemar berpetualang dan melarikan diri dari situasi yang menjenuhkan. Kadang aku ingin melakukan hal-hal yang dirasa tidak nyaman dan berbeda dari keseharian. Beberapa kali aku melarikan diri dari rutinitasku untuk menyepi dan "menyengsarakan" diri dengan pergi ke suatu tempat ala backpacker, duit seadanya, bekal seadanya dan persiapan pun seadanya.
Kali ini tujuannya adalah ke Bandung.
Aku tidak punya sanak famili di Bandung dan ini kali pertama diriku sengaja merencanakan kepergian dengan tidak begitu matang, tanpa arah dan tujuan, tidak tahu akan menginap dimana, yang penting berangkat, pamit kepada orang tua- akan pergi bersama dua orang teman perempuan yang kebetulan mengambil jurusan yang sama yaitu Arsitektur.
Tujuan kami ke Bandung semata-mata untuk melihat Pesta Seni di ITB (Institut Teknologi Bandung) yang menurut promosinya akan sangat meriah dan banyak even-even kreatif yang menarik serta menampilkan artis-artis terkenal.
Lumayanlah, sembari jalan-jalan menikmati suasana kota Bandung yang menawarkan sejuta pesona baik dari kulinernya maupun wisata belanja dan alam. Kami menumpang travel, berangkat sore hari dan tiba di Jatinangor subuh. Berbekal oleh-oleh “Bandeng Presto”, makanan khas Semarang untuk penduduk yang akan kami singgahi untuk menginap dan 3 potong pakaian seadanya.(Waktu itu umurku masih 20 tahun dan kali pertama mencoba berbackpacker-ria).
Perjalanan hampir 10 jam itu cukup memusingkan akibat liukan travel dijalanan yang kadang zig-zag dan mengerem mendadak.
Syukurlah kami menemukan tempat meletakkan penat yaitu sebuah rumah didekat stasiun Rancaekek dengan penghuninya yang bersedia kami repoti.
Beliau adalah seorang nenek yang hidup sendiri, berumur sekitar 70 tahun dengan anak-anak yang sudah sukses di kota.
Sekitar jam 9 pagi, lelah sudah sedikit beranjak dari badan setelah tidur sejenak dikasur sederhana sang nenek. Kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung, dengan tidak lupa bertanya bagaimana cara menuju kesana.
Beliau memberitahukan bahwa cukup dengan menumpang kereta , kami sudah dapat sampai di Bandung dengan cepat dan murah.
Dengan langkah gontai, setelah menghabiskan secangkir teh manis suguhan sang nenek dan menyantap habis bubur ayam abang-abang yang lewat didepan rumah, kami melesat ke stasiun dengan berjalan kaki menyelusuri rel.
Hawa Bandung masih sejuk kala itu.
Tiba distasiun, kami membeli karcis, dan bergegas meloncat ke kereta. Harga tiketnya sangat murah, cuma 400 rupiah dan masih kusimpan sampai sekarang, sebagai kenang-kenangan diantara kumpulan tiket, karcis atau apapun setiap kali aku "uji nyali" pergi menggelandang.
Dengan susah payah kami menerobos masuk kedalam kereta yang cukup padat dengan berbagai makhluk. Pantas saja, harga tiketnya sangat murah, karena tak disangka kami harus berbaur dengan kerumunan kambing dan sekelompok ayam yang dibawa oleh pedagang dengan mengikat kaki-kaki mereka menjadi satu. Belum lagi manusia-manusia dengan peluh yang menetes ditengkuk dan pelipis mereka karena kegerahan ikut menyemarakkan bau-bauan yang ada digerbong tempat kami menumpang. Tidak adanya pegangan membuat kami menahan berat tubuh kami dengan susah payah, ditambah beban ransel yang menempel dipunggung dan dengusan-dengusan nafas panas yang berhembus ditengkuk kami akibat saking dekatnya jarak satu sama lain.
Benar-benar situasi yang romantis atau tragis sehingga tak sengaja diriku menertawakan nasib yang sok nekat berpeluh-peluh ria demi sepotong pengalaman. Tiba-tiba baru setengah perjalanan, kereta mendadak berhenti. Sudah diduga, pasti akan timbul keriuhan tersendiri disetiap gerbong karena mempertanyakan alasan kereta ini mandeg.
Peluh makin membanjir dan kereta ini tak juga berangkat. Perjalanan yang biasanya ditempuh 1 jam molor menjadi 2 jam karena ternyata kereta berhenti akibat menyerempet seorang anak kecil.
Ada-ada saja...huuft.
Setelah urusan beres, perlahan-lahan kereta meneruskan perjalanan dengan terseok-seok. Dengan penuh perjuangan akhirnya tibalah kami diBandung. Langsung kami menuju kampus ITB dengan naik angkot. Sesampai disana, suasananya memang sangat menarik. Banyak bazar-bazar unik, kerajinan tangan hasil kreasi mahasiswa maupun masyarakat setempat sampai pertunjukan happening art yang teaterikal dan dramatis.
Siang menjelang sore, suasana panggung semakin semarak dengan penampilan artis-artis ibukota dari group Coklat, Naif sampai Geger Band dari Surabaya.
Benar-benar menghibur. Tak sadar hari sudah malam.Untuk kembali ke Rancaekek dan menginap dirumah nenek tadi sepertinya kami ragu karena tidak hafal jalan dan takut kesasar.
Sempat berencana untuk tidur diMasjid ITB atau di RS Borromeus layaknya orang menunggu pasien ICU, tapi kok tidak yakin. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sapaan 2 orang pemuda.
Sepertinya mereka mahasiswa kampus ini. “Mau kemana, mbak?” “Hmmm,...ini mas, kami sedang kebingungan mencari tempat menginap, karena untuk kembali ke Rancaekek, sepertinya sudah tidak ada kereta”, aku menjelaskan. “Menginap dikos-kosan saya aja mbak, tapi isinya cowo semua, kalau mau..” Tanpa pikir panjang, kami mengiyakan tawaran lelaki itu untuk meminjamkan kamarnya, sementara dia mengungsi kekamar temannya yang lain.
Syukurlah, akhirnya kami terbebas tidur dialam bebas. Pemuda yang berbaik hati itu bernama Guruh dan Heru. Ternyata menemukan tempat kos mereka cukup membuat kami terpana karena harus melewati gang-gang sempit selebar hanya 1 meter, berliku-liku dan padat permukiman.
Dengan tampang celingukan, kami cepat-cepat menyelinap masuk kamar kos Guruh karena takut ketahuan teman-temannya yang lain.
Kamar Guruh sangat sederhana.Tidak ada kasurnya, lemari rotan kecil dan meja dari kayu peti kemas. Alas tidurnya hanya karpet biasa dan sebuah bantal. Lumayanlah, ransel kami bisa menggantikan fungsi sebagai bantal.
Ternyata menginap dikos Guruh membuat kami, yaitu saya , Ofa dan Monic malas untuk kembali ke Rancaekek karena tidak efektif pulang pergi.
Setiap hari kami menjelajahi setiap sudut kota Bandung. Dari Islamic Centre, sampai Cibaduyut. Dari Cisangkuy sampai Lembang dengan berjalan kaki dan sesekali naik angkot.
Gempor kaki tidak terasa, baru setelah sampai dikos, kaki rasanya sudah bertambah volume 2 kali lipat.
Hari ketiga, ternyata Monic tidak kuat melanjutkan travelling ala backpacker. Dia pulang ke Semarang. Tinggallah saya dan Ofa yang masih terus bertahan menaklukkan kota Bandung dengan berjalan kaki. Ijin keorangtua yang semula 3 hari molor menjadi seminggu. Alhasil uang dikantong makin menipis, dan kami memang sengaja tidak membawa kartu ATM. Perfect!
Terpaksa harus melakukan pengiritan besar-besaran dengan mengurangi jatah makan supaya bisa pulang ke Semarang yang rencananya hari ini, hari keenam setelah kedatangan kami. Jadi yang semula makan 3 kali sehari dengan laut bergizi, nasi, sayur dan lauk pauk lengkap. Keesokan harinya menjadi makan 2 kali sehari, dengan lauk seadanya. Sampai-sampai uang seribu rupiah harus cukup untuk makan pagi ini, dihari terakhir,karena malam nanti kami berencana untuk pulang. Akhirnya, dengan perut keroncongan , kami singgah diwarung nasi padang, membeli nasi 1000 rupiah, diguyur kuah rendang yang asin sebanyak-banyaknya yang sama sekali tidak cocok dengan lidah Jawa yang cenderung suka yang manis-manis.
Kami makan dengan lahap, sambil sesekali memandang bentuk sendiri yang sudah sangat dekil seperti gelandangan dan saling pandang-pandangan sambil tertawa nyengir. Hahaha..benar-benar berkesan. Malamnya, sebelum pulang dengan bus, kami makan malam untuk terakhir kalinya diwarung pinggir jalan dengan lauk bola-bola daging yang dikepal bersama parutan kelapa. Lumayanlah, perbaikan gizi, setelah lama tidak makan makanan bernutrisi. Sialnya, itu bola-bola daging sepertinya sudah lama tidak laku, sehingga perut kami mulas seperti diaduk-aduk karena agak basi, heeftt..benar-benar payah. Jam 9 malam, bus sudah siap dipulnya.
Kami mencari tempat duduk pesanan yang ternyata tepat ditengah-tengah bus lajur sebelah kiri. Tak seberapa lama, bus pun berangkat membawa sejuta harapan kami untuk cepat pulang ke rumah, karena lelah yang mendera dan tubuh yang melemas karena keracunan makanan.
Bus melaju dengan kencang membawa penumpang yang memenuhi semua kursi. Saya dan Ofa Cuma terdiam karena kelelahan sambil bergoyang-goyang mengikuti ritme gerakan ban yang menggelinding. Seberang kami duduk sepasang suami istri yang unik, karena suaminya kurus kering, sedangkan istrinya berbadan gendut dan melebar.
Sepertinya, jatah tempat duduk suaminya tersita setengahnya untuk menampung lebar tubuh sang istri. Alis matanya tipis dan melengkung tetapi memakai eyeliner tebal. Sangat kontras dengan pipinya yang menggembung.
Didepan kami duduk 2 orang anak kecil sekitar umur 5 tahun dan 7 tahun.Mereka asyik cekikikan sambil selalu mengucapkan kata “acakadut” hampir setiap menit.
Sedangkan belakang kami, walaupun tidak menengok, tapi saya tahu kalau disitu duduk sepasang muda-mudi yang sepertinya baru saja kenalan didalam bus.
Dan anehnya, semenjak kami berangkat dari Bandung, sampai hampir sampai ke Cadas Pangeran, si pria tidak pernah berhenti berbicara, sedangkan si wanita tidak menjawab sama sekali, entahlah apakah dia bisu, atau enggan menanggapi.
Yang jelas, pria itu tidak pernah berhenti bercerita dari awal. Sedang asyik-asyiknya terkantuk-kantuk, tiba-tiba bus berhenti didaerah Cadas Pangeran, pinggir hutan. Ternyata mesin rusak, sehingga bus terpaksa berhenti dan menunggu bus pengganti atau perbaikan mesin.
Dalam kesenyapan, ternyata uji nyali kami belum berakhir. Ketika aku menoleh ke wanita sebelah kanan tadi, ternyata bibirnya seolah-olah melebar sampai melebihi pipi layaknya Joker, matanya berkilat-kilat ditimpa sorot lampu kendaraan dari arah berlawanan, dan tersenyum menyeringai. Sementara suaminya terlihat pucat, dengan senyum pias dan tak berekspresi seperti mayat hidup.
Anak-anak didepan kami masih saja cekikikan dan kali ini ditambah dengan suara-suara layaknya orang sedang bertelepon, padahal suasananya sangat hening dan jam sudah beranjak pukul 1 dini hari. Saya colek teman saya Ofa, dan dia pun merasakan hal yang sama.Untungnya kami bukan orang yang penakut, tetapi tetap saja suasana malam itu sangat mencekam dan sepi. Hanya sesekali terdengar suara klakson panjang dari kendaraan lain, karena bus kami kebetulan berhenti tepat diturunan.
Ditambah saat itu sedang heboh-hebohnya bus berhantu yang konon kabarnya disusupi makhluk-makhluk menyeramkan.Semakin komplitlah penderitaan kita. Tegang, perut mulas, badan loyo dan tubuh dekil. Daripada sibuk memikirkan hal-hal aneh, akhirnya kami memutuskan untuk tidur sambil mendekap erat ransel kami masing-masing untuk menghalau hawa dingin. Sekitar jam 6 pagi kami dibangunkan oleh hentakan bus yang bergoyang-goyang, tanda mesinnya telah hidup.
Horeee...sorakku dalam hati, kita pulang. Dan karena suasana sudah terang, aku mencoba memeriksa apakah penghuni bus masih menyeramkan seperti kemarin malam? Huuft..untunglah, ibu gendut itu masih sama, suaminya yang kurus masih sama, 2 anak itupun masih ada, pandangan mataku menyapu ruangan dan berdiri untuk memastikan penumpang bus memang manusia normal dan bukan jadi-jadian. Yesh!..semuanya memang kembali normal, apakah tadi malam aku berhalusinasi, atau memang lokasi kami berhenti tadi memang daerah wingit, entahlah?
Yang pasti saya aku semalam sadar sesadar2nya, melek dan melihat wajah2 tak beraturan itu dengan begitu nyata dan jelas.
NB: Kisah2 horrorku yang lain (secara nyata) bisa dibaca di buku ANTOLOGI HORROR KISAH NYATA berjudul " Perempuan Terowongan Ceger" ini...
(model: Archa Bella dan buku PEREMPUAN TEROWONGAN CEGER ,penerbit Grasindo)
Wuih, ngeri mak itu. Ngandel saya, Mbak. Cadas Pangeran emang terkenal seram karena konon sering kecelakaan mematikan di situ. Dulu saya diajak temen ke Bandung, pas di sana suasanya agak gimanaaa gitu. Waktu itu sekitar jam 2 malam dan kami cuma berdua di mobil, jalanan sepi. Hiy, untung nggak ngalamin yang aneh-aneh.
ReplyDeleteIya mas..pokoknya kejadian itu msh melekat dibenakku.
DeleteMungkin makhluk2 astral itu pingin ngacau pas kita kg singgah ke markasnya.
Untung aku ga ditekek..! Hiek
Amit2 skrg klo lwt yg wingit2...takut mak bedunduk...#bosozimbabwe
Hadeuhhh salah deh bacanya pas malem2. Seketika saya langsung takut
ReplyDeletehihihihih...mudah2an ga ngalami ya mbak... :P
DeleteEngaging the services of a vacation tour company is highly advisable for travelers who do not have enough time to attend to the details of their travel.
ReplyDeleteThere is something special about them. Thanks for sharing this valuable information with all of us and if you are searching for the best.
ReplyDelete