Posting hari ke3 #One Day One Post kali ini bertema tentang KELUARGA.
Woww, ...sesuatu yang sangat akrab buat aku yang memang dibesarkan dalam keluarga yang bertipe FAMILY MAN alias "cinta kumpul-kumpul dalam keluarga buat seru-seruan".
Latar belakang yang berbeda baik dari keluarga ayahku, keluarga ibuku, keluarga suamiku, bikin hidupku makin berwarna dan tambah seru.
Orang tua ayahku adalah muslim yang taat tapi tidak fanatik.
Ayahku adalah anak pertama dari 16 bersaudara! #janganpingsan!
Dari 1 ibu dan 1 bapak. Kebayang dong jaman dulu kan slogannya "BANYAK ANAK BANYAK REJEKI".
Tapi kalo buatku sekarang, "BANYAK ANAK STROKE DINI" ....hasyah.
( reuni keluarga besar jadi agenda rutin)
Jadi tipe Eyangku (begitu aku memanggilnya) ini , sebisa mungkin semua anaknya tinggal dirumah yang sama.
Sebagai cucu pertama, aku kenyang merasakan bagaimana riuh rendahnya suara dirumah Eyangku waktu itu.
Saking banyaknya adik dari ayahku, sampai2 tanteku yang paling kecil cuma selisih berapa tahun denganku, bahkan anaknya juga seumuran dengan anakku. Jadi sama2 gedenya, tapi anakku memanggil tante kesepupuku.
Jangan heran jika saat Lebaran, Eyangku yang masih menganut tradisi sungkeman selalu menyiapkan pendopo teras rumah untuk barisan anak-cucunya yang "mlaku ndodok"alias berjalan dengan cara berjongkok, mengular, menanti giliran sungkeman dan dapat "salam tempel" alias angpao....yihaaaa! #mataijo
Kebayang dong , dompetku langsung menebal dengan suksesnya ketika tiba giliran sungkem mulai dari Eyang Kakung, Eyang Putri, Om dan Tante, belum saudara Eyang, belum menantu Eyang dan gebetan om/tante yang belum menikah, tapi ingin cari muka lewat (calon) keponakan....hahaaayy,,,paneeeennn! *nyengirkuda
Ditambah Eyang memliki menantu dari berbagai etnis. Ada yang dari Jepang, Mesir, Medan, Surabaya,Tionghoa, dsb, semakin mengukuhkan kalau aku dibesarkan dalam lingkungan yang multikultural .
Aku tinggal bersama dengan Eyangku ini cuma sampai umur 5 tahun.
Setelah itu , ayahku pindah ke rumah sendiri.
Lebih enak dirumah sendiri, tidak gaduh dan tidak ada berebut.
Maklum saja, adik2 dari ayahku juga memiliki anak-anak yang sebaya denganku, jadi wajar saja anak-anak seusia balita saling berebut sesuatu. Satu nangis, yang lain nangis, satu tidur, yang lain bangun, yang tidur ikut bangun, arrrggghhh!..rame konde!
(pesta ulang tahun dirumah om)
Tetapi tinggal berpisah dengan keluarga besar yang sudah diakrabi sedari kecil juga ada tidak enaknya.
Rumah jadi sepi, tidak ada teman bermain, sedangkan adikku masih terlalu kecil untuk kuajak main.
Main ke tetangga dilarang oleh ibu, karena aku suka gemes sama anak ayam tetangga yang baru belajar jalan, kemudian kuremas saking gemasnya..dan...keekkk! matilah anak ayam....
Masih teringat dibenakku, ibuku ke rumah tetangga mengirimkan ayam ingkung untuk pengganti anak ayam yang kucekek...*kalemnya akuh.. #jitak!, tekorlah ibuku... #jewer!
Setelah semakin beranjak besar, kami jadi sering piknik bareng dengan om, tante dan sepupu2ku.
Bergiliran menginap dirumah om dan tante yang sudah tinggal berpisah dengan Eyang.
Ternyata keseruannya masih tetap sama.
Kalo dulu sering berebut, sekarang malah rebutan buat nraktir.
Rasanya seneng banget kalau bikin yang nyodorin uang atau kartu kredit jadi melongo karena ga kepake, kalah duluan ke Kasir.
Setiap malam takbiran menjelang Lebaran, om dan tante-tanteku tidak pernah absen berkunjung ke rumah ayahku untuk mengantarkan rantang berisi lontong opor, sambal goreng krecek/ati ampela, ketupat, lepet, komplit dan tetap menjalin silaturahmi.
(Om dan tanteku serta sepupuku)
Sebagai anak pertama, sekarang rumah ayahku menjadi basecamp kumpul-kumpul adik2nya sebagai pengganti rumah Eyang yang sudah dijual semenjak Eyang meninggal.
Aku pun masih melakukan tradisi sungkeman yang sama seperti yang dilakukan Eyangku dulu, dan akan kuteruskan secara turun temurun, karena itu baik, walaupun aku bukan muslim.
Walaupun saat itu tidak berada dirumah, pernah kita berlibur ke Bali, tradisi sungkeman itu tetap dilakukan, saling memaafkan dengan tulus dari dalam hati.
(pesta keluarga bertema Jepang)
(Acara Natalan dengan keluarga besar)
Demikian juga saat aku berkunjung ke rumah mertuaku yang berbeda kota denganku, selalu aku dan suamiku serta anakku melakukan sungkeman saat hari Raya Idul Fitri.
Di hari kedua, biasanya saudara2 dari mertuaku yang tersebar dimana-mana tumplek blek ke pelataran depan rumah , mendirikan tenda, mendengarkan tausyiah pak kyai, dan makan bareng2 prasmanan. Jumlahnya mencapai 500 orang, saudara semua.
( makan bareng dilesehan)
Sama halnya saat Natal, kami juga berkunjung ke saudara2 yang merayakan Natal, setelah ke gereja, piknik bareng, bawa bekal dari rumah , menggelar tikar ditepi sawah, atau makan di Restoran dengan keluarga besar.
Benar-benar hal indah yang tidak akan pernah kami hilangkan sampai kapan pun.
Banyak manfaat yang aku dan keluargaku rasakan dengan kebiasaan-kebiasaan kita ini.
Kami menjadi orang2 yang lebih toleran. Menjadi lebih akrab satu sama lain, dan jarang ada perseteruan, karena saat bertemu selalu dilewatkan dengan bercanda dan ketawa ketiwi.
Ga heran kita dijuluki keluarga gokil,karena setiap ada kami, disitu ada keceriaan dan lawakan yang ga pernah ada matinya.
Semoga tradisi baik ini menular ke anak2 kami nantinya.
Unity in Diversity...
Woww, ...sesuatu yang sangat akrab buat aku yang memang dibesarkan dalam keluarga yang bertipe FAMILY MAN alias "cinta kumpul-kumpul dalam keluarga buat seru-seruan".
Latar belakang yang berbeda baik dari keluarga ayahku, keluarga ibuku, keluarga suamiku, bikin hidupku makin berwarna dan tambah seru.
Orang tua ayahku adalah muslim yang taat tapi tidak fanatik.
Ayahku adalah anak pertama dari 16 bersaudara! #janganpingsan!
Dari 1 ibu dan 1 bapak. Kebayang dong jaman dulu kan slogannya "BANYAK ANAK BANYAK REJEKI".
Tapi kalo buatku sekarang, "BANYAK ANAK STROKE DINI" ....hasyah.
( reuni keluarga besar jadi agenda rutin)
Jadi tipe Eyangku (begitu aku memanggilnya) ini , sebisa mungkin semua anaknya tinggal dirumah yang sama.
Sebagai cucu pertama, aku kenyang merasakan bagaimana riuh rendahnya suara dirumah Eyangku waktu itu.
Saking banyaknya adik dari ayahku, sampai2 tanteku yang paling kecil cuma selisih berapa tahun denganku, bahkan anaknya juga seumuran dengan anakku. Jadi sama2 gedenya, tapi anakku memanggil tante kesepupuku.
Jangan heran jika saat Lebaran, Eyangku yang masih menganut tradisi sungkeman selalu menyiapkan pendopo teras rumah untuk barisan anak-cucunya yang "mlaku ndodok"alias berjalan dengan cara berjongkok, mengular, menanti giliran sungkeman dan dapat "salam tempel" alias angpao....yihaaaa! #mataijo
Kebayang dong , dompetku langsung menebal dengan suksesnya ketika tiba giliran sungkem mulai dari Eyang Kakung, Eyang Putri, Om dan Tante, belum saudara Eyang, belum menantu Eyang dan gebetan om/tante yang belum menikah, tapi ingin cari muka lewat (calon) keponakan....hahaaayy,,,paneeeennn! *nyengirkuda
Ditambah Eyang memliki menantu dari berbagai etnis. Ada yang dari Jepang, Mesir, Medan, Surabaya,Tionghoa, dsb, semakin mengukuhkan kalau aku dibesarkan dalam lingkungan yang multikultural .
Aku tinggal bersama dengan Eyangku ini cuma sampai umur 5 tahun.
Setelah itu , ayahku pindah ke rumah sendiri.
Lebih enak dirumah sendiri, tidak gaduh dan tidak ada berebut.
Maklum saja, adik2 dari ayahku juga memiliki anak-anak yang sebaya denganku, jadi wajar saja anak-anak seusia balita saling berebut sesuatu. Satu nangis, yang lain nangis, satu tidur, yang lain bangun, yang tidur ikut bangun, arrrggghhh!..rame konde!
(pesta ulang tahun dirumah om)
Tetapi tinggal berpisah dengan keluarga besar yang sudah diakrabi sedari kecil juga ada tidak enaknya.
Rumah jadi sepi, tidak ada teman bermain, sedangkan adikku masih terlalu kecil untuk kuajak main.
Main ke tetangga dilarang oleh ibu, karena aku suka gemes sama anak ayam tetangga yang baru belajar jalan, kemudian kuremas saking gemasnya..dan...keekkk! matilah anak ayam....
Masih teringat dibenakku, ibuku ke rumah tetangga mengirimkan ayam ingkung untuk pengganti anak ayam yang kucekek...*kalemnya akuh.. #jitak!, tekorlah ibuku... #jewer!
Setelah semakin beranjak besar, kami jadi sering piknik bareng dengan om, tante dan sepupu2ku.
Bergiliran menginap dirumah om dan tante yang sudah tinggal berpisah dengan Eyang.
Ternyata keseruannya masih tetap sama.
Kalo dulu sering berebut, sekarang malah rebutan buat nraktir.
Rasanya seneng banget kalau bikin yang nyodorin uang atau kartu kredit jadi melongo karena ga kepake, kalah duluan ke Kasir.
Setiap malam takbiran menjelang Lebaran, om dan tante-tanteku tidak pernah absen berkunjung ke rumah ayahku untuk mengantarkan rantang berisi lontong opor, sambal goreng krecek/ati ampela, ketupat, lepet, komplit dan tetap menjalin silaturahmi.
Sebagai anak pertama, sekarang rumah ayahku menjadi basecamp kumpul-kumpul adik2nya sebagai pengganti rumah Eyang yang sudah dijual semenjak Eyang meninggal.
Aku pun masih melakukan tradisi sungkeman yang sama seperti yang dilakukan Eyangku dulu, dan akan kuteruskan secara turun temurun, karena itu baik, walaupun aku bukan muslim.
Walaupun saat itu tidak berada dirumah, pernah kita berlibur ke Bali, tradisi sungkeman itu tetap dilakukan, saling memaafkan dengan tulus dari dalam hati.
(pesta keluarga bertema Jepang)
(Acara Natalan dengan keluarga besar)
Demikian juga saat aku berkunjung ke rumah mertuaku yang berbeda kota denganku, selalu aku dan suamiku serta anakku melakukan sungkeman saat hari Raya Idul Fitri.
Di hari kedua, biasanya saudara2 dari mertuaku yang tersebar dimana-mana tumplek blek ke pelataran depan rumah , mendirikan tenda, mendengarkan tausyiah pak kyai, dan makan bareng2 prasmanan. Jumlahnya mencapai 500 orang, saudara semua.
( makan bareng dilesehan)
Sama halnya saat Natal, kami juga berkunjung ke saudara2 yang merayakan Natal, setelah ke gereja, piknik bareng, bawa bekal dari rumah , menggelar tikar ditepi sawah, atau makan di Restoran dengan keluarga besar.
Benar-benar hal indah yang tidak akan pernah kami hilangkan sampai kapan pun.
Banyak manfaat yang aku dan keluargaku rasakan dengan kebiasaan-kebiasaan kita ini.
Kami menjadi orang2 yang lebih toleran. Menjadi lebih akrab satu sama lain, dan jarang ada perseteruan, karena saat bertemu selalu dilewatkan dengan bercanda dan ketawa ketiwi.
Ga heran kita dijuluki keluarga gokil,karena setiap ada kami, disitu ada keceriaan dan lawakan yang ga pernah ada matinya.
Semoga tradisi baik ini menular ke anak2 kami nantinya.
Unity in Diversity...
Senengnya bisa berkumpul dengan keluarga besar. Keluarga memang segalanya ya mbak...meskipun berbeda ;)
ReplyDeleteBetul sekali mbak. Dengan berkumpul bersama keluarga,perbedaan serasa lumer jadi keakraban.
DeleteSilaturahmi bisa memperpanjang umur dan memperluas rezeki
ReplyDeleteSalam hangat dari Jombang
Betul sekali pak. Indahnya berbagi...
Deleteseneeng kalau kumpul.makanannya enyak dan bikin happy canda sana sini.sama mbak, ortuku juga anak pertama jadi buat jujugan kalau pas kumpul
ReplyDeleteIya mbak.anak pertama ada enaknya,kita jd tempat jujugan. Ribet tapi asyik krn byk yg bantuin. Makanan juga berlimpah. Kangen suasana begitu...
Deleteseneeng kalau kumpul.makanannya enyak dan bikin happy canda sana sini.sama mbak, ortuku juga anak pertama jadi buat jujugan kalau pas kumpul
ReplyDeleteSeneng ya mbak kalau kumpul keluarga besar itu. Bikin kangeeeen.
ReplyDeleteiya mbak...keluarga memang selalu ngangenin. Mbak Marita keluarganya banyak jg ga?
DeleteWah, keren ini. Gado-gado rame rasanya kaya permen Nano-Nano.
ReplyDeleteDatang dari keluarga multilatar-belakang seperti ini bikin kita jadi lebih dewasa menghadapi perbedaan. Jangan kaya sebagian orang yang cuma beda pendapat aja bisa ribut. Jangankan beda agama, seagama beda keyakinan aja bisa jadi rusuh.
iya, beruntungnya bisa hidup dalam keluarga yang berbeda2.
DeleteKadangkala, jika tak kenal maka tak sayang, jika kita tidak bs memposisikan dipihak seberang, ya isinya hanya bisa menghujat dan merasa paling benar.
Semoga makin banyak org yang toleran seperti jaman dulu.